There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Ditulis oleh UNPARPlus pada Mon Feb 28, 2022
Direktur UNPAR+ (baca: UNPAR Plus) Budi H Bisowarno mengatakan, revolusi industri 4.0 yang terjadi saat ini telah mengubah pasar tenaga kerja serta mendisrupsi dunia industri dan ekonomi. Tayang ulang dari BIZ.KOMPAS
Menurutnya, revolusi industri 4.0 telah menimbulkan ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja yang memiliki kompetensi digital atau digital skills.
Berdasarkan riset Microsoft Data Science, papar Budi, revolusi industri generasi keempat membuka 149 juta pekerjaan baru di bidang data analytics, software development, dan cyber security.
Di sisi lain, perkembangan tersebut juga bakal menutup sejumlah pekerjaan manual karena digantikan oleh teknologi. “Temuan digital skill gap itu sesuai dengan Road Map to Closing the Digital Skill Gap by 2030 yang disusun oleh The Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC),” jelas Budi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (15/2/2022).
Ia menambahkan, pandemi Covid-19 semakin mempertegas keberadaan jurang antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja dengan kompetensi digital tersebut.
Berdasarkan Digital Skill Gap Index (DSGI) 2021 yang diterbitkan Wiley, lanjut Budi, banyak negara belum berhasil mempersempit digitalskill gap. Sebagai informasi, DSGI disusun berdasarkan enam indikator, yakni digital skills institutions, digital responsiveness, government support, demand, supply and competitiveness, digital ethics and integrity, serta research intensity.
“Berdasarkan indikator tersebut, Singapura menempati peringkat pertama. Sementara, Malaysia peringkat ke-10, Indonesia peringkat ke-47, Filipina peringkat ke-51, Vietnam peringkat ke-53, dan Thailand peringkat ke-78,” kata Budi.
Indonesia sendiri menempati peringkat pertama sebagai negara dengan digital skill gap paling kecil di antara negara-negara lower-middle income economies. Meski demikian, Indonesia masih ketinggalan jika dibandingkan negara-negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Contohnya, pada indikator digital skills institutions yang mengukur kesiapan institusi menyiapkan tenaga kerja dengan kompetensi digital, Indonesia berada di peringkat ke-16. Indonesia kalah dari Filipina (14), Malaysia (6), serta Singapura (2). “Indonesia juga kalah peringkat dengan negara maju, seperti Australia dan Korea Selatan,” ujarnya.
Menurut Budi, kondisi tersebut disebabkan sejumlah faktor. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang belum cukup mendukung pengembangan talenta digital. Selain itu, peran institusi pendidikan dan perusahaan dinilai belum mampu memberikan keterampilan digital yang memadai untuk mempersempit jurang tersebut.
Peranan institusi pendidikan
Budi melanjutkan bahwa di antara negara-negara APEC, sistem pendidikan Indonesia sebenarnya dinilai cukup responsif dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan tenaga kerja dengan kompetensi digital. Pada indikator ini, Indonesia menempati peringkat ke-11.
Meski demikian, pada indikator kesiapan lulusan perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan kompetensi digital, Indonesia menempati peringkat ke-13. Indonesia berada di posisi yang sama dengan Thailand, Kanada, dan Australia.
“Berdasarkan data tersebut, pelatihan selama atau setelah lulus perguruan tinggi perlu ditingkatkan untuk kesiapan memasuki dunia kerja yang makin membutuhkan kompetensi digital,” ujar Budi.
DSGI 2021, kata Budi, menemukan bahwa digital skill gap pada sektor pendidikan dan pelatihan ternyata menempati peringkat paling atas di negara-negara APEC. Bahkan, sektor tersebut mempunyai digital skill gap lebih besar jika dibandingkan di lingkungan birokrasi dan pemerintahan.
Selain itu, DSGI 2021 juga menemukan bahwa pelatihan tenaga kerja di lingkungan perusahaan (corporate training) untuk peningkatan kemampuan digital (upskilling) juga dinilai masih belum mencukupi. “Indonesia bersama Thailand dan Vietnam termasuk negara-negara yang harus bertindak lebih untuk meningkatkan pelatihan di lingkungan perusahaan,” papar Budi.
Dengan kondisi seperti itu, perguruan tinggi dan lembaga pelatihan mempunyai peran besar untuk mempersempit digital skill gap. Menurut Budi, perguruan tinggi diharapkan dapat mempersiapkan lulusannya sesuai dengan kebutuhan dunia industri yang bertransformasi ke arah digital. Kemudian, lembaga pelatihan juga dapat bekerja sama dengan kalangan industri untuk memberikan layanan peningkatan kompetensi digital kepada para tenaga kerjanya.
“Mahasiswa perlu dikenalkan berbagai pelatihan dan magang industri lebih awal untuk memahami tuntutan kompetensi digital yang dibutuhkan oleh dunia industri,” kata Budi.
Untuk mengatasi digital skill gap, imbuh Budi, telah hadir program UNPAR+. Program ini merupakan layanan online training untuk peningkatan kompetensi (upskilling), termasuk pembaruan kompetensi (reskilling) dalam perbaikan kualitas tenaga kerja. Menurut Budi, layanan tersebut ditujukan untuk pemenuhan visi keberpihakan kepada masyarakat, baik yang tidak mendapat kesempatan kuliah di perguruan tinggi, tersingkir dalam persaingan dunia kerja karena kemajuan teknologi digital, maupun ketidakcocokan gaya belajar di sistem pendidikan konvensional.
Layanan online learning itu sejalan dan mendukung prinsip education for all, lifelong learning dan freedom of learning. “Melalui UNPAR+, masyarakat dapat mengikuti kursus bermutu secara online dan dapat diakses dengan mudah. Harga kursus di UNPAR+ sangat kompetitif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan di dunia kerja,” tutur Budi.